Jeruji berputar dengan kata membalikkan makna. Tuhan di atas hitam dan putih sekedar realita atau bukan sama sekali karena kita buta akan dunia. Nyawa terdiam karena dipertaruhkan demi pilihan. Beribu tanya tak sempat terpikir hilang karena aku baru tahu betapa besarnya mulut para binatang yang meneteskan darah tanpa tuan di kepala.
Bagaimana bisa kita bertahan sementara tak ada beda antara kita dengan mereka. Tidak ada kesakitan yang ingin singgah dengan sukarela. Karena sebenarnya kita tidak pernah ada di depan matanya. Siapa dia? Siapa kita? Siapa mereka? Tidak ada siapa-siapa karena tidak seharusnya ada.
Iblis menangis meminta pengampunan dan entah mengapa hanya manusia yang sudi mengampuni. Mungkin karena manusia begitu cinta kepada iblis dan iblis lebih mencintai manusia. Mereka akan selalu bersama dalam satu persetubuhan suci dimana iblis menjadi penguasa atas segala rahim yang menelurkan kepala.
Kita berjalan dalam seretan-seretan tepi jurang. Ketakutan menyapa dan manusia pun menjerit. Mereka tidak kenal apa yang mereka katakan. Doktrin-doktrin pun menyebar cepat tanpa tahu apa itu malu.
Masih ada satu peradaban di ujung barat sana yang selalu kita agungkan untuk keruntuhannya. Kita mencari perangsang agar takdir berpihak bukan kepada Tuhan karena kita menginginkan kebebasan sementara Tuhan menginginkan penderitaan.
Inilah cerita massa dalam hitungan satu dua tiga. Diperalat untuk menjadi alat kemudian diajari bagaimana cara membangkang. Setelah itu kangkangi mereka yang merasa orang besar.
Kita tidak pernah ada dan mereka pun begitu. Yang ada hanya sebuah anatomi yang tersusun dari sedikit niskala tak berpihak. Kita kata ini adalah kekerasan. Mereka kata ini adalah cinta dan kasih sayang.
Pelajari mental sampai ke akarnya karena kejahatan berasal dari kelemahannya. Kamu bodoh telah tunduk dengan kepatuhan seorang manusia. Jangan manusia, tapi dirimu saja.
Aku lihat mulutmu sakit karena diciptakan. Kamu jenuh mencari apa yang ada pada sesuatu yang menghubungkan manusia dengan binatang-binatang yang bungkam. Demikian kata Tuhan contoh satu kekejian. Bukan dia yang menjadi korban karena manusia menderita tak punya banyak kata.
Pada mulanya selalu adalah tubuh. Kemudian nama, asal-usul, dan bunuh. Tidak butuh invasi dengan sumbu dusta karena sudah kukatakan ini semua tak pernah ada.
Jangan bicara tentang tubuh, mesin dan kuasa. Seperti raibnya seduksi pada mesin seks ala Sade. Rezim Orde Baru pun kehilangan wataknya. Mereka terintegrasi ke dalam prosedur mekanis. Dengan kata lain itu adalah kekuasaan.
Adalah satu-satunya jalan yang membawa individu lemah kepada kekuatan kehendak. Yang ditakutkan bukanlah perubahan pertobatan tetapi perubahan dimana sesuatu tidak bisa berubah lagi. Ketakutan ini yang memblokir komunikasi dalam kelainan menyadarkan diri dalam ketegasan tanpa sadar. Paradoks tidak akan mati. Akhir tidak akan kembali. Luka bukan sekedar fiksi karena tak terbatas adalah tempat kematian.
Teror menghasilkan massa, karena teror menyamakan manusia. Perbedaan di antara kita menguap di bawah cengkraman takut yang sama. Diri terbenam dalam lautan kerumunan adalah jalan pintas untuk melupakan sejenak tentang siapa kita. Sendirian, manusia merasa cemas. Akan dijemput kematian dengan pesona konfrontasi.
No comments:
Post a Comment