Mengapa aku menulis? Pertanyaan ini sepertinya penting, meskipun tanpa menjawabnya pun aku yakin tetap bisa membuat ratusan tulisan lagi sebelum mati. Kebetulan kami punya “company” yang bidang usahanya sering disebut para kritikus sambil marah-marah sebagai vanity press. Jadi, kalau dipaksakan, untuk buku saja, mungkin aku bisa membuat lima buah dalam tahun ini. (Kalahkan itu, Dan Brown! Hahaha!)
Aku pernah menjawab pertanyaan ini dalam sebuah tulisan. Kebetulan ada sebuah buku kecil kumpulan artikel dari para gergasi seperti Milan Kundera, Gabriel Garcia Marquez, dan Michel Foucault yang bisa aku masukkan dalam artikelku. Paling banyak ku ambil dari tulisan George Orwell karena di situ ia menyebut macam-macam motivasi penulis, mulai dari motif estetis sampai motif luhur seperti memicu transformasi sosial.
Itu sekitar tiga tahun yang silam. Sekarang makin jelas bahwa aku tidak memiliki motivasi-motivasi mulia seperti yang ku kutip itu. Ketika kesadaran terbuka, paradoks dalam diriku pun terkuak. Menulis ku anggap pekerjaan yang mulia karena menawarkan nilai-nilai yang ajeg dan bisa dipakai sebagai pegangan bagi pembaca atau minimal menjadi bahan pertimbangan. Itulah tuntutan sebuah tulisan. Kalau tidak begitu, mau jadi apa dia? Kadang tulisan lebih kejam dari pada otoritas moral manapun. Ketika menulis aku berperang dengan diri sendiri. Aku dipaksa menghapus kabut dalam kepala atau menyesuaikan diri dengan berbagai prinsip. Seringnya aku gagal. Apapun bentuk dan gayanya, menurutku seorang penulis punya tuntutan membuat karya yang membuat dirinya dapat menjadi semacam penipu atau badut. Bisa juga kalau ingin melihatnya sebagai kegiatan reflektif -syukur kalau si penulis bisa sampai percaya dengan tulisan yang dibuatnya. Aku tetap membuat tulisan-tulisan pendek dengan hati-hati dan ku simpan entah di komputer mana. Seperti membuang kotoran.
Dua tahun terakhir aku melenggang masa bodoh di atas pertanyaan ini. Aku menulis berita. Itu pun hanya kebagian jenis soft news. Jadilah aku wartawan flora dan fauna. Tiga tahun di pers kampus, setelah itu dapat tugas “meliput” tentang kura-kura brazil dan love bird. Mantap! Mama dan papa bangga pada ku.
Sebagai jurnalis, tulisanku tidak banyak berkembang juga. Terlalu banyak “tapi”, “sebenarnya”, atau kata-kata pamungkas yang mengisyaratkan bahwa si penulis ingin menciptakan sensasi atau kejutan. Caper! Terlalu kebarat-baratan karena sering mengambil ungkapan-ungkapan dari terjemahan bahasa Inggris. Dalam hal ini sepertinya aku tidak sendiri. Banyak sekali anak-anak peradaban barat di sekelilingku –kalau tidak bisa dibilang budak. Tulisanku juga terlalu monoton karena terpaku dengan formula menggabungkan kalimat panjang dan pendek dalam satu paragraf. Terlalu banyak berusaha melucu juga. Sebenarnya Douwess Dekker sudah kasih peringatan tentang bahaya rima dalam tulisan. Klimaksnya, akhir-akhir ini aku sering berpikiran bahwa aku tidak suka menulis, dan tentu saja karena itu setengah menolak disebut sebagai penulis. Aku rela bertele-tele membahas tentang defenisi penulis supaya aku tidak termasuk di dalamnya. Yah, nggak jelas begitulah.
Aku tidak sedang “berusaha untuk mencintai”, seperti apa yang ku lakukan sepanjang hidup kepada bentuk hidung dan kepalaku. Mungkin aku hanya suka mengeluh dan belum bisa melihat keseluruhan kosmik dunia menulis. (Siapa suruh bodoh!). Tapi, andai saja ada wartawan yang melihat lama waktu aku mengetik untuk tulisan ini, aku yakin dia bakal pesimis tulisan serupa bisa ku buat lagi sebulan kemudian. Bagiku menulis memang susah! Berputar-putar seperti gasing. Membaca berulang-ulang sampai bosan, kemudian dengan putus asa melepas begitu saja tulisan yang belum sempurna. Mungkin aku suka berkoar-koar mengadu duel. (Pada kenyataannya, memang hanya sedikit penulis hebat di kota ini). Di dalam diriku ini sebenarnya rasa frustasi sudah membumbung tinggi.
Sial. Apa aku berhenti saja dan fokus di bagian pemasaran? Tapi, untuk sementara tidak usah bilang-bilang ke klien kami tentang hal ini. Jujur, aku butuh uang dari itu. Anggap tulisan ini tidak pernah ada. Tapi mana bisa, ya? Mungkin ini salah satu yang aku suka dari menulis.
Ah, jadi kangen dengan cerpenku yang dibuat seorang kawan jadi alas obat nyamuk.
Aku pernah menjawab pertanyaan ini dalam sebuah tulisan. Kebetulan ada sebuah buku kecil kumpulan artikel dari para gergasi seperti Milan Kundera, Gabriel Garcia Marquez, dan Michel Foucault yang bisa aku masukkan dalam artikelku. Paling banyak ku ambil dari tulisan George Orwell karena di situ ia menyebut macam-macam motivasi penulis, mulai dari motif estetis sampai motif luhur seperti memicu transformasi sosial.
Itu sekitar tiga tahun yang silam. Sekarang makin jelas bahwa aku tidak memiliki motivasi-motivasi mulia seperti yang ku kutip itu. Ketika kesadaran terbuka, paradoks dalam diriku pun terkuak. Menulis ku anggap pekerjaan yang mulia karena menawarkan nilai-nilai yang ajeg dan bisa dipakai sebagai pegangan bagi pembaca atau minimal menjadi bahan pertimbangan. Itulah tuntutan sebuah tulisan. Kalau tidak begitu, mau jadi apa dia? Kadang tulisan lebih kejam dari pada otoritas moral manapun. Ketika menulis aku berperang dengan diri sendiri. Aku dipaksa menghapus kabut dalam kepala atau menyesuaikan diri dengan berbagai prinsip. Seringnya aku gagal. Apapun bentuk dan gayanya, menurutku seorang penulis punya tuntutan membuat karya yang membuat dirinya dapat menjadi semacam penipu atau badut. Bisa juga kalau ingin melihatnya sebagai kegiatan reflektif -syukur kalau si penulis bisa sampai percaya dengan tulisan yang dibuatnya. Aku tetap membuat tulisan-tulisan pendek dengan hati-hati dan ku simpan entah di komputer mana. Seperti membuang kotoran.
Dua tahun terakhir aku melenggang masa bodoh di atas pertanyaan ini. Aku menulis berita. Itu pun hanya kebagian jenis soft news. Jadilah aku wartawan flora dan fauna. Tiga tahun di pers kampus, setelah itu dapat tugas “meliput” tentang kura-kura brazil dan love bird. Mantap! Mama dan papa bangga pada ku.
Sebagai jurnalis, tulisanku tidak banyak berkembang juga. Terlalu banyak “tapi”, “sebenarnya”, atau kata-kata pamungkas yang mengisyaratkan bahwa si penulis ingin menciptakan sensasi atau kejutan. Caper! Terlalu kebarat-baratan karena sering mengambil ungkapan-ungkapan dari terjemahan bahasa Inggris. Dalam hal ini sepertinya aku tidak sendiri. Banyak sekali anak-anak peradaban barat di sekelilingku –kalau tidak bisa dibilang budak. Tulisanku juga terlalu monoton karena terpaku dengan formula menggabungkan kalimat panjang dan pendek dalam satu paragraf. Terlalu banyak berusaha melucu juga. Sebenarnya Douwess Dekker sudah kasih peringatan tentang bahaya rima dalam tulisan. Klimaksnya, akhir-akhir ini aku sering berpikiran bahwa aku tidak suka menulis, dan tentu saja karena itu setengah menolak disebut sebagai penulis. Aku rela bertele-tele membahas tentang defenisi penulis supaya aku tidak termasuk di dalamnya. Yah, nggak jelas begitulah.
Aku tidak sedang “berusaha untuk mencintai”, seperti apa yang ku lakukan sepanjang hidup kepada bentuk hidung dan kepalaku. Mungkin aku hanya suka mengeluh dan belum bisa melihat keseluruhan kosmik dunia menulis. (Siapa suruh bodoh!). Tapi, andai saja ada wartawan yang melihat lama waktu aku mengetik untuk tulisan ini, aku yakin dia bakal pesimis tulisan serupa bisa ku buat lagi sebulan kemudian. Bagiku menulis memang susah! Berputar-putar seperti gasing. Membaca berulang-ulang sampai bosan, kemudian dengan putus asa melepas begitu saja tulisan yang belum sempurna. Mungkin aku suka berkoar-koar mengadu duel. (Pada kenyataannya, memang hanya sedikit penulis hebat di kota ini). Di dalam diriku ini sebenarnya rasa frustasi sudah membumbung tinggi.
Sial. Apa aku berhenti saja dan fokus di bagian pemasaran? Tapi, untuk sementara tidak usah bilang-bilang ke klien kami tentang hal ini. Jujur, aku butuh uang dari itu. Anggap tulisan ini tidak pernah ada. Tapi mana bisa, ya? Mungkin ini salah satu yang aku suka dari menulis.
Ah, jadi kangen dengan cerpenku yang dibuat seorang kawan jadi alas obat nyamuk.
By: Liston Damanik
No comments:
Post a Comment