Saya bukan sedang menghilangkan bukti dari kekasih jika saya dulu selalu mencintai perselingkuhan. Bukan juga sedang lari dari kenyataan jika dulu saya memang mencintai perselingkuhan dan saya memang berselingkuh. Dan juga, saya sedang tidak berbohong kepadanya jika saya memang sungguh benar-benar berselingkuh dan saya mencintai itu. Saya bukan begitu. Tapi, ini lah keputusan untuk menjawab bahwa masa lalu saya sebelum bersama kekasih di sini lah garis finisnya. Tepat di bawah kaki kekasih saya dan agak berjarak sekitar sepuluh sentimeter dari kaki saya sekedar untuk memberi tempat bahwa saya punya masa lalu. Ya, hanya sekedar tempat. Tak berisi. Karena isinya sudah saya bakar, dan sudah menjadi abu. Dan abunya sedang saya pijak di bawah kaki saya dan juga kaki kekasih.
Saya bukan menyembunyikan cerita pengkhianatan itu dari kekasih dengan membakar semua buku-buku harian saya sebelum bertemu dengan kekasih. Saat itu, buku-buku itu menjadi wabah bagi saya dan saya jatuh sakit. Saya tahu mengapa saya sakit. Maka, saya bakar itu semua. Andai ada sungai Gangga di sebelah rumah saya, sudah saya hanyutkan saja abu itu di situ agar saya segera sembuh dari sakit karena mereka. Tapi, tidak ada sungai Gangga.
Saya tidak menangis saat membakar semua buku itu. Saya justru tertawa karena saya yakin kesembuhan semakin mendekati saya. Sudah tidak sabar untuk menulis kisah yang baru tentang saya dan kekasih di buku harian yang baru pula. dan sekarang saya sudah menulis banyak tentang kisah kekasih dan saya. Saya pernah tertawa geli saat kekasih mengirimkan pesan kalau dia sedang membaca buku harian saya sedangkan dosen sedang memberi kuliah di depan kelasnya. Saat itu saya sedang di rumah. Saya tanya apakah buku harian saya ketinggalan? Dia jawab, ya. Dan isi tasnya pada hari itu saat ke kampus hanya buku harian saya. Bagaimana tidak bahagia jika saya merasa sedang dibawanya kemana-mana padahal saat itu saya sedang berada di rumah yang sangat jauh dari kampus? Itu lah kekasih saya. Romantis bukan pada tempatnya.
Tiba-tiba saya mengingat itu kembali. Mengingat kalau saya punya banyak buku harian yang sudah saya bakar, dulunya. Tapi, saya berbohong jika saya lupa isinya secara utuh. Saya masih ingat beberapa, lebih tepatnya beberapa titik saja yang ada di buku harian itu dan saya tidak merasa bersalah.
Baru saja saya tersenyum sinis akan masa lalu. Entah untuk siapa dan mengapa saya tersenyum begitu saya pun ragu untuk menjawab. Mungkin saja jawabannya ada di dalam semua buku harian atau salah satu di antaranya yang sudah saya bakar itu, dulu. Dan tak apa-apa sekarang sudah menjadi abu karena saya pun tak peduli.
No comments:
Post a Comment