: menanti sepi, perutku jadi lembur.
Dia sudah menungguku di meja makan. Mungkin wajahnya sedang tersenyum. Mungkin saja tidak. Aku hanya bisa merasakan kehadirannya jika dia pun merasakan akan hadirnya aku di dekatnya. Tidak ada kesepakatan. Ini hanya inisiatif duga-dugaan yang menyenangkan.
Serigala betina sedang bernyanyi di ujung jalan sana. Aku masih saja diam menghadapi dia yang duduk di hadapanku. Sungguh, aku malu jika saat makan ada yang memperhatikan. Bisa-bisa sendok aku sangka ikan.
"Mengapa kamu tidak tidur?"
"Untuk apa?"
"Untuk matamu yang sudah memerah, untuk tubuhmu yang sudah melemah, untuk otakmu yang sering mengalah, untuk pikiranmu yang selalu salah, untuk perasaanmu yang sulit untuk dicegah."
"Hahhh... Cuma karena itu?"
"Setidaknya jika kamu tidur, kamu akan kuajak bermain ke duniaku. Mau?"
"Lima suap lagi."
Aku anggap itu bukan pernyataan bahwa aku meng-iya-kan ajakannya. Lima suap lagi butuh waktu. Lima suap lagi butuh kemauan yang besar. Bahkan dengan lima suap lagi aku bisa memutuskan untuk berhenti makan atau terpaksa melanjutkan. Aku anggap ini hanya prediksi.
Jari-jarinya diketuk bergantian di atas meja seperti orang sedang mengetik. Aku tidak terganggu. Tapi, aku seperti membaca ketidaksabarannya di jari-jari itu. Dua sendok lagi dan akhirnya aku hentikan.
"Sudah selesai?"
"Kenyang."
"Sekarang sudah bisa aku ajak ke sana 'kan?"
"Belum."
"Lho?"
"Kamu saja duluan. Nanti aku menyusul."
Gontainya dia berjalan membuat aku biasa-biasa saja. Aku mau cuci muka dulu. Aku ke kamar mandi dan dia ke kamar. Sepertinya dia membanting pintu kamar. Aku mendengarnya di dalam hatiku. Sudahlah, dia mungkin sedang emosi saja.
Aku masuk ke dalam kamar dan dia tidak ada. Hanya ada bisikan-bisikan tak senyawa terbang-terbang dalam keremangan. Aku pun tidur setelah melewati lima menit masturbasi.
"Selamat datang di dunia mata terpejam. Ini rumahmu. Dan ini teman-temanmu. Ayo maiiiiiiiiiiinnnn!!!!"
No comments:
Post a Comment