Sudah tak sabar ingin kuceritakan kepada seisi ruangan ini tentang perasaanku kepadamu. Ini sudah begitu lama, perempuanku. Tapi, aku hanya bisa memendam. Tidak mungkin aku mengatakan kalau aku cinta. Dan aku, hanya bisa memandangmu diam-diam saat kamu berlalu begitu saja di hadapanku. Kita hampir setiap hari bertemu di rumah ini. Tanpa sapa jika tidak ada tanya. Tanpa senyum jika tidak ada tegur. Aku dengan langkah-langkah kakiku dan kamu dengan langkah-langkah kakimu. Kamu tidak tahu seperti apa terguncangnya aku karena begitu bahagia saat kebetulan dalam keberuntungan bisa melihatmu tersenyum. Jika aku ingat-ingat, kamu lebih banyak cemberutnya jika tahu akan melintas di hadapanku.
Aku cinta kamu. Aku selalu ingin membuat kamu senang dengan segala pemberianku yang mungkin hanya bernilai sangat kecil di hadapanmu. Ingin kulihat bagaimana kamu begitu histerianya saat aku memberi sesuatu yang begitu berharga bagiku. Di awal-awal, kamu masih mau untuk menerima segala pemberianku. Tapi, entah mengapa beberapa minggu terakhir ini kamu menolaknya dengan alasan yang tidak bisa kupahami. Aku tidak ingin mempertanyakannya mengapa. Aku biarkan saja dengan bahagiamu yang suka-suka itu. Entah apa yang membuatku begitu kagum denganmu, awalnya. Bahkan caramu berjalan meresap cepat ke dalam diriku hingga tidak terasa aku pun berjalan seperti caramu. Saat aku masuk ke dalam kamarmu, aku mampu berdiri berlama-lama di tengahnya hanya untuk melihat begitu indahnya kamarmu seperti rupamu. Aku membayangkan apa saja yang kamu lakukan saat berada di dalam kamar ini dengan pintu yang selalu tidak lupa untuk kamu kunci dari dalam. Lama-lama aku baru tahu kalau kamu adalah perempuanku yang tertutup.
Aku tidak tahu apa salahku kepadamu hingga kamu mencampakkan cintaku dengan catatan bahwa kamu menganggap aku tidak pernah ada sejauh matamu memandang padahal aku ada di hadapanmu. Kamu mengeluarkan aku dari sederetan orang-orang yang kamu anggap teman awalnya, hingga sekarang aku termasuk di dalam sederetan orang-orang yang tidak kamu inginkan. Apa salahku, perempuanku?
Aku masih begitu ingat bagaimana ketusnya kamu berbicara kepadaku, sementara begitu lembutnya kamu berbicara kepada lelakimu. Apa salahku, perempuanku? Aku belum mengatakan kalau aku cinta. Jadi, apa salahku?
Saat ini yang aku rasa hanya sebuah tekanan di dalam asa. Aku tidak berani melihatmu, bahkan hanya mendengarkan langkah kakimu di rumah ini saja aku sudah takut. Aku tidak tahu apa salahku. Mungkin kamu tidak suka aku ada. Begitu pula lelakimu yang mungkin juga sama denganmu, tidak suka aku ada. Tapi...
Entahlah...
Begitu aku cinta kamu. Begitu ingin aku dengar kamu memanggilku. Begitu berharap kamu selalu menganggapku ada. Begitu...begitu...begitu...
Aku sudah memutuskan kepada penghuni rumah ini bahwa apa pun yang kamu rasakan kepadaku, perempuanku, aku akan selalu melakukan yang terbaik untukmu walau kamu tidak pernah akan menganggap itu semua demi kamu. Mungkin hanya dengan cara itu aku bisa membuktikan kalau aku cinta.
Aku cinta kamu. Aku selalu ingin membuat kamu senang dengan segala pemberianku yang mungkin hanya bernilai sangat kecil di hadapanmu. Ingin kulihat bagaimana kamu begitu histerianya saat aku memberi sesuatu yang begitu berharga bagiku. Di awal-awal, kamu masih mau untuk menerima segala pemberianku. Tapi, entah mengapa beberapa minggu terakhir ini kamu menolaknya dengan alasan yang tidak bisa kupahami. Aku tidak ingin mempertanyakannya mengapa. Aku biarkan saja dengan bahagiamu yang suka-suka itu. Entah apa yang membuatku begitu kagum denganmu, awalnya. Bahkan caramu berjalan meresap cepat ke dalam diriku hingga tidak terasa aku pun berjalan seperti caramu. Saat aku masuk ke dalam kamarmu, aku mampu berdiri berlama-lama di tengahnya hanya untuk melihat begitu indahnya kamarmu seperti rupamu. Aku membayangkan apa saja yang kamu lakukan saat berada di dalam kamar ini dengan pintu yang selalu tidak lupa untuk kamu kunci dari dalam. Lama-lama aku baru tahu kalau kamu adalah perempuanku yang tertutup.
Aku tidak tahu apa salahku kepadamu hingga kamu mencampakkan cintaku dengan catatan bahwa kamu menganggap aku tidak pernah ada sejauh matamu memandang padahal aku ada di hadapanmu. Kamu mengeluarkan aku dari sederetan orang-orang yang kamu anggap teman awalnya, hingga sekarang aku termasuk di dalam sederetan orang-orang yang tidak kamu inginkan. Apa salahku, perempuanku?
Aku masih begitu ingat bagaimana ketusnya kamu berbicara kepadaku, sementara begitu lembutnya kamu berbicara kepada lelakimu. Apa salahku, perempuanku? Aku belum mengatakan kalau aku cinta. Jadi, apa salahku?
Saat ini yang aku rasa hanya sebuah tekanan di dalam asa. Aku tidak berani melihatmu, bahkan hanya mendengarkan langkah kakimu di rumah ini saja aku sudah takut. Aku tidak tahu apa salahku. Mungkin kamu tidak suka aku ada. Begitu pula lelakimu yang mungkin juga sama denganmu, tidak suka aku ada. Tapi...
Entahlah...
Begitu aku cinta kamu. Begitu ingin aku dengar kamu memanggilku. Begitu berharap kamu selalu menganggapku ada. Begitu...begitu...begitu...
Aku sudah memutuskan kepada penghuni rumah ini bahwa apa pun yang kamu rasakan kepadaku, perempuanku, aku akan selalu melakukan yang terbaik untukmu walau kamu tidak pernah akan menganggap itu semua demi kamu. Mungkin hanya dengan cara itu aku bisa membuktikan kalau aku cinta.
--Untuk perempuanku yang selalu mengurung diri
No comments:
Post a Comment