Aku tidak marah kekasihku berselingkuh karena aku bukanlah salah satu dunianya yang harus selalu disentuh. Aku katakan aku tidak marah bukan karena aku sedang berselingkuh, tapi karena itu bukan urusanku. Aku belum seutuhnya memilikinya. Hanya saja hampir memilikinya. Aku akan sangat senang jika dia mengatakan kalau aku adalah miliknya, tapi bukan salah satunya.
Di hampir setiap jengkal waktunya, aku selalu mengatakan kalau aku ingin bisa merasakan apa itu perbedaan dalam sebuah persamaan. Dia hanya menganggap itu sebuah retorika belaka yang hanya pas jika aku letakkan di ruang museum saja. Aku hanya bisa tertawa. Tapi, sayangnya tawa itu terdengar dari dalam hati saja.
Kamu sedang berselingkuh, kataku suatu ketika saat dia sedang memunggungiku. Apa yang bisa aku katakan selain aku sungguh-sungguh tidak marah kepadanya? Aku sedang belajar berpindah haluan dari yang "selalu memikirkan diriku saja" menjadi yang "sudah bisa memikirkan orang lain". Itu tidak mudah. Semua itu bisa aku lakukan karena dia lebih bisa bersikap dewasa daripada aku. Ya, selingkuh itu adalah sebuah kedewasaan. Mengajarkan aku bagaimana caranya menghargai keputusan dan kebosanan seseorang atas diriku. Dan untuk apa aku harus marah kepadanya?
Sementara dia berselingkuh, aku disibukkan dengan ritual memandikan jiwa dalam rasa sakit hati tanpa batas. Rasa. Apa itu rasa? Aku pernah menanyakan itu kepadanya. Tapi, tidak ada jawaban. Beberapa saat kemudian dia baru berkata bahwa itu bukan pertanyaan penting dan berhentilah untuk mencoba-coba menjadi filsuf bagi dunia ini. Aku tidak menyangka dia berkata begitu. Sekali lagi aku katakan kalau aku tidak marah kepadanya.
Tidak ada pertemuan hari ini, dan cobalah untuk mengerti. Begitu pesannya suatu pagi. Aku sadar kalau aku mengerti tapi aku tidak yakin kalau aku mau untuk mengerti. Dia akan pergi bersama seseorang untuk mempertemukan cinta mereka. Aku menyebutnya dia akan berselingkuh. Aku tidak tahu entah sampai kapan ini akan terus terjadi karena menerka-nerka merupakan sesuatu yang sangat dilarang dalam suatu hubungan. Dia sedang bersiap-siap untuk segera pergi. Begitu bahagiannya dia. Pantaskah aku merenggut kebahagiaan itu dari wajahnya dengan mengatasnamakan kesetiaanku kepada dirinya? Tidak. Menuntut kesetiaan hanyalah sikap kekanak-kanakkan seseorang yang tidak bisa menerima kenyataan. Terima saja apa yang sudah terjadi. Nikmati saja. Begitu katanya saat pertama kali aku mendengar dari mulutnya kalau dia sudah menemukan pasangan yang pas untuk berselingkuh.
Aku bahagia kamu bisa berselingkuh. Kataku tanpa kata-kata. Terima kasih, Sayang. Ucapnya tanpa kecupan.
Lihatlah, Dunia! Dia bisa membebaskan dirinya dari sebuah kesetiaan yang membelenggu kepada perselingkuhan yang membahagiakan. Berkatilah dia semampu yang Engkau bisa karena aku akan selalu bahagia atas perselingkuhannya dan selalu menunggu dalam kesetiaan yang tak pernah terbaca olehnya.
Aku tidak marah. Tidak akan.
Di hampir setiap jengkal waktunya, aku selalu mengatakan kalau aku ingin bisa merasakan apa itu perbedaan dalam sebuah persamaan. Dia hanya menganggap itu sebuah retorika belaka yang hanya pas jika aku letakkan di ruang museum saja. Aku hanya bisa tertawa. Tapi, sayangnya tawa itu terdengar dari dalam hati saja.
Kamu sedang berselingkuh, kataku suatu ketika saat dia sedang memunggungiku. Apa yang bisa aku katakan selain aku sungguh-sungguh tidak marah kepadanya? Aku sedang belajar berpindah haluan dari yang "selalu memikirkan diriku saja" menjadi yang "sudah bisa memikirkan orang lain". Itu tidak mudah. Semua itu bisa aku lakukan karena dia lebih bisa bersikap dewasa daripada aku. Ya, selingkuh itu adalah sebuah kedewasaan. Mengajarkan aku bagaimana caranya menghargai keputusan dan kebosanan seseorang atas diriku. Dan untuk apa aku harus marah kepadanya?
Sementara dia berselingkuh, aku disibukkan dengan ritual memandikan jiwa dalam rasa sakit hati tanpa batas. Rasa. Apa itu rasa? Aku pernah menanyakan itu kepadanya. Tapi, tidak ada jawaban. Beberapa saat kemudian dia baru berkata bahwa itu bukan pertanyaan penting dan berhentilah untuk mencoba-coba menjadi filsuf bagi dunia ini. Aku tidak menyangka dia berkata begitu. Sekali lagi aku katakan kalau aku tidak marah kepadanya.
Tidak ada pertemuan hari ini, dan cobalah untuk mengerti. Begitu pesannya suatu pagi. Aku sadar kalau aku mengerti tapi aku tidak yakin kalau aku mau untuk mengerti. Dia akan pergi bersama seseorang untuk mempertemukan cinta mereka. Aku menyebutnya dia akan berselingkuh. Aku tidak tahu entah sampai kapan ini akan terus terjadi karena menerka-nerka merupakan sesuatu yang sangat dilarang dalam suatu hubungan. Dia sedang bersiap-siap untuk segera pergi. Begitu bahagiannya dia. Pantaskah aku merenggut kebahagiaan itu dari wajahnya dengan mengatasnamakan kesetiaanku kepada dirinya? Tidak. Menuntut kesetiaan hanyalah sikap kekanak-kanakkan seseorang yang tidak bisa menerima kenyataan. Terima saja apa yang sudah terjadi. Nikmati saja. Begitu katanya saat pertama kali aku mendengar dari mulutnya kalau dia sudah menemukan pasangan yang pas untuk berselingkuh.
Aku bahagia kamu bisa berselingkuh. Kataku tanpa kata-kata. Terima kasih, Sayang. Ucapnya tanpa kecupan.
Lihatlah, Dunia! Dia bisa membebaskan dirinya dari sebuah kesetiaan yang membelenggu kepada perselingkuhan yang membahagiakan. Berkatilah dia semampu yang Engkau bisa karena aku akan selalu bahagia atas perselingkuhannya dan selalu menunggu dalam kesetiaan yang tak pernah terbaca olehnya.
Aku tidak marah. Tidak akan.
--hidup itu seharusnya dibalik agar tidak terbalik
No comments:
Post a Comment