Di sebuah ruangan. Sumpek tapi penuh makna, katanya. Ada saya dan cintanya saya.
Aku mendengar suara
jerit hewan yang terluka.
yang terjatuh dari sarangnya.
Orang-orang harus dibangunkan.
Kesaksian harus diberikan
agar kehidupan bisa terjaga.
W. S. Rendra
Ini adalah sajak. Sebuah sajak. Saya membaca dari sebuah buku kumpulan artikel tentang Rendra. Kebetulan Rendra baru wafat beberapa waktu yang lalu, tak lama berselang setelah beberapa hari Mbah Surip wafat. Saya suka membaca kalimat “Aku mendengar suara jerit hewan yang terluka”. Saya tidak punya alasan khusus mengapa saya suka. Yang terpenting bagi saya ada kata “suara” dan “terluka”. Apa jadinya jika saya mendengar suara yang terluka? Suara yang dilukai? Atau luka karena suara? Terserah!
Saya memandang sekitar. Yang terlihat adalah mereka yang telah menjadi sesuatu yang lebih berharga dari apa pun. Sudah saya katakan, “Jangan pernah pisahkan saya dengan satu benda itu!”. Sekarang saya sedang duduk di samping mereka. Tapi, ini bukan ruangan saya. Ini ruangan cintanya saya yang mempunyai sesuatu yang berharga juga seperti saya. Mereka berdiri di dipan hitam yang kasar. Saya kurang suka dipannya. Tapi, mereka tersenyum. Mereka memang bisa tersenyum dengan saya sambil sesekali menggoda mata saya agar saya sudi menyentuh mereka. Saya menyentuh mereka tapi tidak untuk saya baca. Saya hanya mengatur mereka agar terlihat cantik. Saya suka melihat mereka rapi di atas dipan itu. Berwarna-warni dengan kekhasan masing-masing yang membuat saya selalu ingin menatap mereka. Ya, mereka hanya pajangan. Saya suka melihat pajangan saya. Tapi, di ruangan ini, mereka bukan pajangan saya. Mereka pajangan cintanya saya. Sekarang, pajangannya saya sudah digabung dengan pajangannya cinta. Semakin banyak pajangannya. Saya senang.
Cinta sedang di tempat tidur. Berbaring, eh bukan, terlungkup, sambil membaca berlembar-lembar brosur yang cinta ambil tadi di sebuah pameran. Saya geli melihatnya. Cinta telanjang dada. Cinta sudah mulai gembul lagi. Sementara saya, di sudut kamar, merasakan kebosanan yang kepanasan sambil tersenyum kecut seperti orang yang baru saja diambil makanannya. Dada saya masih sesak karena batuk. Cinta saya bersin-bersin. Parahnya dia tidak mau tertawa kepada saya.
Mengapa tidak mau????
Saya benci cinta!!!!!!
Tapi, saya sayang dengan cinta. Saya hanya merasa lelah saja.
Sebentar….
Bertambahnya usia bukan berarti kita paham segalanya (Dee, Filosofi Kopi: 67)
Itu yang baru saja saya buka, acak, dari dipan hitam cintanya saya. Apa rasanya saat membaca itu? Itu yang tertera di atas! Saya? Tidak tahu harus merasakan apa. Tidak tahu harus menilai apa. Terlalu hebat bagi saya jika saya berani menilai. Tapi, saya harus menilai supaya saya bisa jadi hebat. Hmmm…sepertinya tidak sekarang waktunya.
No comments:
Post a Comment