Seorang sahabat bertanya, "Bagaimana bisa kamu bahagia dengan Cinta dan Tuhan?
Hmm...bagaimana saya harus menjawabnya ya? Saya mungkin sering terlihat layaknya orang yang sedang belajar menjadi ateis, lebih ekstrimnya belajar menjadi sok ateis. Mengapa bisa begitu? Saya juga tidak tahu mengapa ada yang berpendapat seperti itu. Padahal saya baik-baik saja. Saya hanya bersikap sewajarnya yang saya rasa walaupun tak wajar di mata orang lain. Saya juga tahu harus bisa mengambil jalan tengah untuk tetap toleransi dengan perasaan orang lain. Saya juga tidak mau dirugikan karena harus mengikuti maunya orang lain. Saya bukan budak pikir
Belajar dari semua yang sudah terjadi dengan berbagai manusia yang sudah saya kenal bahkan ada yang berangsur-angsur sengaja saya lupakan, merupakan hal yang sangat privasi jika harus ada yang beranggapan kalau saya butuh dibedah. Untuk apa? Tidak ada yang pantas dibedah dari saya. Yang ada saya yang tersiksa. Perlahan-lahan saya membaca peta yang dulu sering saya campakkan karena menganggap itu tidak penting. Ternyata peta itu telah menjadi guru saya untuk mengawali semuanya. Bukan untuk mengakhirinya. Mengawali diri untuk mengenal hidup dan adaptasi yang sesungguhnya di balik semua yang manis tapi ternyata sadis. Saya tidak ingin itu. Terlalu keras jadinya.
Tuhan, adalah lingkaran saya. Dia berputar hanya di wilayah saya melangkah. Kemana pun saya menoleh, Tuhan akan tetap saya rasa. Ada yang merasa tidak kalau Tuhan itu candu? Bagi saya itu ya, jawabnya. Tuhan itu candu. Mungkin tak terlihat noktah-noktah ketergantungan saya kepada Tuhan. Ada media tersendiri yang membuat saya tidak mau melepaskan tangan Tuhan.
Cinta, adalah membebaskan. Ya, suatu ketika saya berkata, "Cinta itu membebaskan. Membebaskan dari yang tidak baik. Membebaskan dengan yang baik-baik." Saya belajar mencintai. Tapi, gagal. Dicintai? Itu sangat simpel. Mencintai itu butuh segalanya. Pertanyaannya, "Bisakah saya mencintai dunia spiritualnya?" dan si Egois pun memandang saya dengan sinisnya.
Dua hal itu adalah pelajaran untuk hidup saya yang baru. Saya memang sakit. Tapi, bukan berarti saya tidak dapat sembuh. Sekarang beginilah adanya. Dunia saya dengan kesendirian saya mampu melahirkan manifestasi yang tak bisa dinilai oleh apa pun. Saya akan menggenggam itu. Kalau kata Jay-Z, "I just Focus."
Take, ini jawaban saya. Sekarang izinkan saya mengucapkan terima kasih banyak kepada kamu karena telah menghabiskan detik-detik saat itu untuk detik-detik berikutnya.
Hmm...bagaimana saya harus menjawabnya ya? Saya mungkin sering terlihat layaknya orang yang sedang belajar menjadi ateis, lebih ekstrimnya belajar menjadi sok ateis. Mengapa bisa begitu? Saya juga tidak tahu mengapa ada yang berpendapat seperti itu. Padahal saya baik-baik saja. Saya hanya bersikap sewajarnya yang saya rasa walaupun tak wajar di mata orang lain. Saya juga tahu harus bisa mengambil jalan tengah untuk tetap toleransi dengan perasaan orang lain. Saya juga tidak mau dirugikan karena harus mengikuti maunya orang lain. Saya bukan budak pikir
Belajar dari semua yang sudah terjadi dengan berbagai manusia yang sudah saya kenal bahkan ada yang berangsur-angsur sengaja saya lupakan, merupakan hal yang sangat privasi jika harus ada yang beranggapan kalau saya butuh dibedah. Untuk apa? Tidak ada yang pantas dibedah dari saya. Yang ada saya yang tersiksa. Perlahan-lahan saya membaca peta yang dulu sering saya campakkan karena menganggap itu tidak penting. Ternyata peta itu telah menjadi guru saya untuk mengawali semuanya. Bukan untuk mengakhirinya. Mengawali diri untuk mengenal hidup dan adaptasi yang sesungguhnya di balik semua yang manis tapi ternyata sadis. Saya tidak ingin itu. Terlalu keras jadinya.
Tuhan, adalah lingkaran saya. Dia berputar hanya di wilayah saya melangkah. Kemana pun saya menoleh, Tuhan akan tetap saya rasa. Ada yang merasa tidak kalau Tuhan itu candu? Bagi saya itu ya, jawabnya. Tuhan itu candu. Mungkin tak terlihat noktah-noktah ketergantungan saya kepada Tuhan. Ada media tersendiri yang membuat saya tidak mau melepaskan tangan Tuhan.
Cinta, adalah membebaskan. Ya, suatu ketika saya berkata, "Cinta itu membebaskan. Membebaskan dari yang tidak baik. Membebaskan dengan yang baik-baik." Saya belajar mencintai. Tapi, gagal. Dicintai? Itu sangat simpel. Mencintai itu butuh segalanya. Pertanyaannya, "Bisakah saya mencintai dunia spiritualnya?" dan si Egois pun memandang saya dengan sinisnya.
Dua hal itu adalah pelajaran untuk hidup saya yang baru. Saya memang sakit. Tapi, bukan berarti saya tidak dapat sembuh. Sekarang beginilah adanya. Dunia saya dengan kesendirian saya mampu melahirkan manifestasi yang tak bisa dinilai oleh apa pun. Saya akan menggenggam itu. Kalau kata Jay-Z, "I just Focus."
Take, ini jawaban saya. Sekarang izinkan saya mengucapkan terima kasih banyak kepada kamu karena telah menghabiskan detik-detik saat itu untuk detik-detik berikutnya.
No comments:
Post a Comment