Wednesday, May 12, 2010

PEREMPUANKU (bagian 2)




Perempuanku Sedih perempuanku Menangis Perempuanku Jenuh Perempuanku
Jauh...

Hati perempuan Laksana kaca hati Laki-laki seperti
Batu. Perempuan Sakit, sebab Laki-laki. Kaca Bertemu batu.

Hati perempuan Kaca, hati laki-laki Batu.

Rasa-ku menyiksaku, hati- Hati ber-hati, Perempuanku Perempuan ber-
Hati Kaca, matanya Berkaca-kaca,

Batu>memecah>kaca>berderai>air mata,

Hati batu tak Ber-hati- Hati, batu pecah Oleh air mata
Hati perempuan Ber-hati kaca...

Hati perempuan Kaca, hati laki-laki Batu.



--Tobree Aotake--
Masih kepada perempuannya...

Monday, May 10, 2010

Puppy Pictures,Puppy Dreams


PEREMPUANKU (bagian 1)



Perempuan Perempuan Perempuan berdaya Pikat perempuan Berakting
Perempuan Bertanya Perempuan Mengerti Perempuan tahu
Perempuan hilang Perempuan kecewa Perempuan Berjuang
Perempuan berfikir Perempuan diam Perempuan Perempuan

Perempuan kecewa Perempuan sedih Perempuan Menangis
Perempuan diam Perempuan pergi
Karena perempuan Perempuanku Perempuan
Perempuan terimakasih Perempuan

Mengerti tapi tidak Paham. Tidak Paham tapi Beraksi. Paham tapi
Tidak mengerti

Perempuan kecewa Perempuan sedih Perempuan Menangis
Perempuan diam Perempuan pergi



--Tobree Aotake--
Kepada perempuannya...

Friday, May 7, 2010

Romo, sekarang ini yang TERTINGGAL hanyalah SELAMAT TINGGAL.


Sebuah aktivitas hidup dalam keseharian yang selalu saja ingin dikorek-korek oleh manusia lain merupakan basa-basi yang sudah menjadi tradisi. Sekarang hal-hal seperti itu sudah dibatasi dalam zona batas saya untuk memandang orang lain. Pembelajaran lokal dalam situs sekeliling pijakan saya sudah ada rambu-rambu bahwa tidak semua di antara mereka bisa memijak garis terjauh saya. Romo mendengar walau tak selamanya memberi komentar. Rasa kesal saya karena hal-hal yang tidak saya ketahui sering menjadi spekulasi-spekulasi sesaat dalam perjalanan saya. Tidak segampang itu saya bisa sekadar blak-blakan tentang siapa dan oleh siapa saya bercerita. Saya tidak perlu memaki-maki hal-hal yang sudah diajarkan ke saya bahwa yang seperti itu pantasnya dikubur dalam-dalam.

Setiap hari setiap saat selalu ada kalimat-kalimat penenang dari dalam jiwa untuk senantiasa meyakinkan diri bahwa saya hari ini pasti baik-baik saja. Saya sangat berharap itu ada di diri saya. Ikhlas akan selalu menjadi headline dalam menyambut hari. Menjadi manusia, maksud saya menjalankan hari-hari sebagai manusia, butuh cara kreatif yang akan terus mengalir, berganti-ganti dengan alur yang baru dan terus baru. Akan sampai mana? Mungkin tak akan sampai-sampai karena bukan saya sebagai penentu tempat pemberhentian.

Jika ditanya, saya ingin kenangan yang tidak saya ingin ada harus hilang dari perangkat ini. Tidak juga saya, tidak juga kamu, apalagi mereka. Saya tidak akan berlari. Sudah lelah. Saya akan berjalan saja sebagaimana seharusnya. Memaksakan diri untuk terus menyesali juga tidak ada guna. Saya hanya meminta untuk bisa kuat. Dalam segala hal bisa saja berbagai kemungkinan akan datang dan berlalu silih berganti. Menembus batas adalah belum saatnya.

Ada sebuah manifesto yang ingin saya ciptakan. Ada sebuah dunia yang sedang saya bangun. Ada sebuah konspirasi yang masih dalam mimpi. Sudah saya simpan erat-erat dalam catatan. Saya disuruh membuat dialog dalam monolog. Kemudian saya harus berani tampil dalam panggung yang ditonton miliaran nyawa. Kemudian akan ada gerak-gerik kata yang berkeliaran di antara mereka. Siapa yang sangka?

Nada-nada yang akan mengiringi sudah menunggu. Mereka sedang bersiap-siap untuk dijodohkan dengan narasi pengikat aksi. Saya yang menjadi pelakon dalam lelakon yang tidak monoton. Saya akan membuat batas lingkaran itu akan semakin mengecil diameternya, mungkin hanya selingkar telapak kaki saya. Egoiskah? Itu yang saya ingin. Koreklah jejak-jejak saya jika memang terbenam saat terbaca oleh mata. Bukan saya yang membaca jejak. Saya tidak akan membaca jejak saya jika saya yang berjalan. Jejak hanyalah jejak. Yang saya lihat akanlah selalu depan yang menawan. Jika ingin mengikuti jejak saya, ikutilah jejak pertama. Tapi, jangan harap saya akan menunggu karena jejak bukanlah sebuah yang bijak.

Tariklah dunia, seperti uluran tali ini. Akan bergelombang terus dan terus sampai akhirnya lepas dan berhenti begitu saja. Saya dituntun oleh rasa. Di sebelah saya ada jiwa yang tersentuh betapa saya begitu berharga bagi dirinya. Saya adalah kenangan dan dia adalah khayalan.



--Manifesto, Nadi, Jangan-jangan, dan Aorta!

Masih ada UTANG dengan KOMPAS (bagian 1)


Sudah hampir tiga minggu saya berlangganan KOMPAS. Ceritanya mengapa saya bisa berlangganan berawal dari pertemuan saya dengan distributor KOMPAS, sepertinya sih, di Gramedia SUN Plaza saat saya sedang mengambil pesanan majalah sastra HORISON dan sedang bertanya adakah KOMPAS Minggu masih tersedia. Ternyata KOMPAS memang sedang ada promosi untuk kalangan akademik dengan menawarkan harga murah untuk berlangganan KOMPAS. Hanya dengan Rp. 50.000,- saya berlangganan setiap hari. Jadi, saya tidak perlu lagi setiap hari Minggu mencari KOMPAS Minggu untuk merobek bagian cerpen dan seni untuk dikoleksi sebagai aset. Sekarang saya sudah bisa dapat setiap hari. Kalau mau hitung-hitung sih harga langganan ini sangat murah jika dibandingkan dengan KOMPAS yang di jual di Sumber dan sekitar yang seingat saya lebih murah dari harga eceran Rp. 3.500,- yaitu Rp. 2.000,- sementara saya setiap harinya hanya Rp. 1.666,6667,- hehehe... diantar lagi ke teras rumah.

Saya dari dulu memang sangat menginginkan untuk berlangganan KOMPAS. Setelah memberi tahu Makcut dan ternyata disetujui, saya pun tersenyum bahagia.
Sebenarnya KOMPAS biasa-biasa saja, mungkin bagi sebagian orang lainnya. Tapi, saya memiliki perasaan yang lain tersendiri. Saya cuma incar KOMPAS Minggunya saja. Tapi, tidak ada salahnya kalau saya juga membaca yang selain Minggu. Bagi Makcut, beliau adalah ibunya saya, tahu betul seperti apa sikap saya kepada KOMPAS. Bahkan beliau minta izin dulu ke saya kalau ingin mengambil KOMPAS untuk dijadikannya sebagai alas tempat baju di lemari atau pengganjal kursi yang tidak seimbang atau yang lainnya. KOMPAS begitu saya jaga posisinya di dalam kamar saya. Saya susun dengan rapi secara berurutan sesuai dengan tanggal agar saya mudah mencari jika suatu saat nanti ada yang diperlukan. Ini termasuk arsip. Posisinya sama dengan otentik-otentik saya yang lain. Bukan hanya Makcut saja yang mengerti tentang saya yang menyukai KOMPAS, Romo juga.

Masalahnya sekarang adalah, saya masih punya utang dengan KOMPAS. Saya memang berlangganan KOMPAS. Setiap hari. Pastinya begitu, bukan? Tapi, saya sering tidak sempat membaca secara intens secara komprehensif isi dari KOMPAS dalam sehari itu. Untuk KOMPAS Senin sampai Sabtu, saya hanya merobek kolom opini untuk disimpan sebagai arsip. Setelah itu saya akan baca, tapi ya sekali lagi saya katakan kalau tidak secara keseluruhan saya baca. Sehingga saya merasa seperti masih ada yang mengganjal. Katakanlah itu saya tunda dan menjadi tugas saya untuk segera menuntaskannya. Seperti bacaan novel saya yang belum tamat-tamat. Sayangnya, saya seperti itu setiap hari. Jadinya kalau saya kemana-kemana, selain ada novel di dalam tas juga ada KOMPAS. Tapi, tetap juga tidak bisa tuntas. Saya masih punya keinginan untuk bisa melahapnya abis. Sementara KOMPAS Minggu yang kolom cerpen dan seni yang saya robek untuk saya jadikan arsip juga. Saya kemudian membaca selebihnya tapi tetap juga tidak tuntas. Jadi, saya masih punya utang. Saya harus bisa menyediakan waktu agar saya bisa mengikuti perkembangan apa pun itu.




Saya punya rasa, orang lain punya cerita.
--Besok ada berita apa lagi ya?

Monday, May 3, 2010

BODOH karena JENIUS


Kata Romo, orang jenius itu cepat bosan. Saya orangnya cepat bosan karena saya jenius. Ketika manusia bosan, sebenarnya kejeniusan mereka sedang aktif pada diri mereka. Hanya saja mereka tidak ada yang menyadari kalau mereka itu jenius. Di situlah letak kebodohannya manusia: tidak menyadari kalau dia sebenarnya jenius. So, jangan merasa bodoh karena jenius.


Hahahahahahaha....
--Mencoba membaca makna dibalik makna..